Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tiga Makna Manusia



Oleh : Drs. H. Ahmad Yani

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ؛ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

Sidang jumat Rahimakumullah,
Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT menamakan manusia . dengan tiga istilah. Sebagai manusia, kita perlu memahami makna-makna istilah tersebut, agar dapat menangkap hakikatnya. Sehingga, kita bisa menjalani kehidupan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, yakni mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ ) سورة الذاريات,٥٦(

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”  (Adz Dzaariyaat; 56)

Istilah pertama untuk menyebut manusia adalah al-insaan. Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, al-Insan diambil dari akar kata yang berarti 'gerak,’ ’lupa,’ dan merasa bahagia atau senang. Ketiga arti ini menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia: ia bergerak bahkan seyogianya memiliki dinamisme; ia juga memiliki sifat lupa atau seyogianya melupakan kesalahan-kesalahan orang lain, dan ia pun merasa senang atau bahagia bila bertemu dengan jenisnya atau seyogianya selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-makhluk lainnya. Penggunaan kata al-insaan untuk menyebut manusia menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang diberi beban tanggung jawab untuk mengabdi kepada Allah SWT dalam cakupan yang seluas-luasnya, sebagaimana yang sudah disebutkan dalam surah adz-Dzaariyaat ayat 56 di atas. Manakala manusia tidak menggunakan waktu dalam hidupnya untuk mengabdi kepada Allah SWT, maka dia akan menjadi orang yang rugi. Rugi di dunia dan rugi pula di akhirat. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ )  سورة الـعصر,١-٣(

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (Al 'Ashr; 1-3)

Oleh karena itu, sebagai al-insaan, manusia harus selalu waspada terhadap godaan-godaan setan, karena setan ingin menyesatkan manusia bukan secara fisik tapi manusia sebagai insan. Karenanya, Allah SWT menggunakan, kata al-insaan untuk menyebut manusia dalam kaitan dengan godaan setan. Allah SWT berfirman,

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ ٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ يَنزَغُ بَيۡنَهُمۡۚ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ كَانَ لِلۡإِنسَٰنِ عَدُوّٗا مُّبِينٗا ٥٣ )  سورة الإسراء,٥٣(

“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Al-Israa; 53)

Namun, manusia yang disebut al-insaan juga berarti lupa. Semestinya ia melupakan kesalahan orang lain terhadap dirinya sehingga dia menjadi pemaaf. Namun, harus kita akui bahwa yang banyak terjadi adalah manusia lupa terhadap ketentuan Allah SWT sehingga mengabaikan ketentuan-Nya. Untuk itu, manusia harus selalu selalu berzikir kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, seandainya manusia mengetahui dan menyadari hakikat dirinya sebagai aI-insaan yang berarti dia harus selalu menyenangi manusia dan makhluk Allah. yang lainnya, maka dalam hidupnya, niscaya manusia akan selalu memberikan yang terbaik, melakukan kebaikan, bahkan menjadi cermin dalam kebaikan dan kebenaran, sehingga segala sikap dan tindakannya selalu memberi manfaat kebaikan yang sebesar-besarnya. Dan inilah memang manusia yang ideal.

Kaum Muslimin yang Berbahagia,

Istilah kedua yang digunakan Allah SWT untuk menyebut manusia adalah al-basyar. Penggunaan kata al-basyar untuk manusia lebih ditekankan kepada hal-hal yang bersifat jasmaniyah dan naluriyah. misalnya manusia itu bisa dilihat, diraba, memerlukan makan, minum, berkembang biak, dan hal-hal yang bersifat fisik lainnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah saw dinyatakan sebagai al-basyar yang berarti secara fisik beliau adalah manusia biasa seperti kita yang mungkin saja lapar, haus, lelah, mengantuk, dan sebagainya. Allah berfirman,

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا ١١٠ )  سورة الكهف,١١٠(

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (Al Kahf; 110)

Karena secara jasmaniyah manusia memiliki berbagai macam kebutuhan, maka sebagai al-basyar, manusia boleh saja memenuhi segala macam kebutuhannya, tetapi tidak boleh menghalalkan segala cara. Kalau manusia memenuhi segala keinginannya dengan menghalalkan segala cara tanpa aturan-aturan, apa bedanya manusia dengan binatang? Bahkan, bila itu yang terjadi, maka kedudukan atau martabat manusia bisa lebih rendah dari binatang. Allah SWT berfirman,

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ ١٧٩ )سورة الأعراف,١٧٩(

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al A'raf; 179)

Kenyataan menunjukkan bahwa keinginan manusia yang bersifat jasmaniyah sangat besar, bahkan bisa jadi sangat dominant. Karena itu, sebagai al-basyar, manusia harus mampu memerangi hawa nafsunya dalam arti mengendalikan hawa nafsu, bukan membunuhnya sama sekali. Sehingga segala keinginannya tetap dalam kendali nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Dan dengan itu pula, martabat manusia bisa dipertahankan.

Sidang Jumat Rahimakumullah,

Istilah ketiga yang biasa digunakan Al-Qur'an untuk menyebut manusia adalah an-naas. Secara harfiyah, an-naas diambil dari kata an-nausu yang berarti ‘gerak.’ Ada juga yang berpendapat berasal dari kata unas yang artinya ‘tampak,’ demikian menurut M. Quraish Shihab. Dari makna ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagai manusia, keberadaan kita di dunia ini harus kita tunjukkan atau kita tampakkan dengan gerakan kebaikan dan perbaikan.

Secara fisik, manusia akan menjadi sehat apabila ia banyak bergerak. Pengabdian kepada Allah yang salah satunya adalah menunaikan shalat harus dilakukan dengan gerakan-gerakan tertentu. Bahkan untuk memperoleh rezeki, meskipun Allah SWT telah menyediakan rezeki di dunia ini, tetap saja manusia harus berusaha untuk mengambilnya dengan gerakan usaha yang halal.

Sebagai makhluk yang harus bergerak, manusia harus saling mengenal antara yang satu dengan lainnya Karena, manusia memang terdiri atas perbedaan jenis kelamin, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bahkan berbeda warna kulitnya. Namun setelah saling mengenal, manusia harus menyadari bahwa kemuliaan itu bukan terletak pada perbedaan-perbedaan tersebut tapi lebih pada ketakwaannya kepada Allah SWT Karena itu, manusia jangan sampai keluar dari rel ketakwaan, karena Allah SWT pasti mengetahuinya meskipun orang lain tidak ada yang tahu. Allah SWT berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣ )  سورة الحُـجُـرات,١٣(

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat; 13)

Dalam menjalankan misinya, sebagai an-naas, manusia menghadapi kendala-kendala berupa godaan setan. Karenanya, manusia harus berlindung kepada Allah SWT dari godaan-godaan setan. Karena itu, surah an-Naas menyebutkan,

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ١ )  سورة الـناس,١(

“Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.”
(An-Nas; 1)

Untuk itu, manusia harus berjalan pada koridor ketakwaan kepada Allah SWT dan itu hanya bisa dicapai hanya dengan menjadikan hidup ini untuk mengabdi kepada Allah SWT. Karena, Dialah yang lebih tahu tentang manusia yang telah diciptakan-Nya. Allah SWT berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١ )سورة البقرة,٢١(

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah; 21)

Akhirnya, sebagai manusia memang kita harus selalu ber-ma’rifah (mengenal) tentang diri kita sendiri, dari mana kita, mau apa kita, dan ke mana kita. Pengenalan tentang hal ini menjadi amat penting agar kita bisa menjalani kehidupan ini sebagaimana mestinya menurut Allah dan Rasul-Nya.

Demikian khutbah Jum’at kita yang singkat pada hari ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Post a Comment for "Tiga Makna Manusia"